WEWENANG
PERADILAN AGAMA
Kata
“Kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, berasal dari
Bahasa Belanda “Competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan
“kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Wewenang
peradilan agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 63 UU nomor 3 tahun
2006 tentang peradilan agama, wewenang tersebut terdiri atas wewnang relative
dan wewenang absolute, wewenang relative peradilan agama merujuk pada pasal 118
HIR, atau pasal 142 RB dan pasal 66 dan pasal 73 UU nomor 7 Tahun 1989. sedang
wewenwng absolut berdasarkan pasal49 UU nomor 7 tahun 1989. yaitu wewenang
peradilan perkara-perkara perdata (a) perkawinan, (b) warisan, wasiat, atau
Hibah yang dilakukun berdasarkan hokum islam. (c) wakaf, Zakat, Infaq, shadaqah
dan ekonomi islam.
Pada
bab ini akan dibahas mengenai kekuasaan lingkungan peradilan dalam kedudukan
sebagai salah satu kekuasaan kehakiman. Ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang
diberikan UU kepada lingkungan peradilan agama dacantumkan dalam bab III UU
Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi Pasal 49 sampai dengan 53. menurut Yahaya
harahap, ada 5 tugas dan wewenag yang terdapat dilingkungan peradilan agama,
yaitu (1) fungsi wewenang mengadili, (2) memberi keterangan, pertimbangan dan
nasehat tentang hokum islam kepada instalasi pemerintahan, (3) wewenangan lain
oleh atau berdasarkan atas UU. (4) kewenangan atas peradilan tinggi agama
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi
relative, serta (5) bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kekuasaan
atau wewenang peradilan kaitannya adalah dengan hokum acara, menyangkut 2 hal
yaitu, kekuasaan relative dan kekuasaan absolute. Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan
Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Misalnya : antara pengadilan
negeri malang dengan peradilan negeri pasuruan, pengadilan agama sidoarjo dan
pengadilan agama jombang,
Pasal
4 Ayat (1) UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama berbunyi: peradilan Agama
berkedudukan di kota Madya atau Ibukota Kabupaten dan Daerah hukumnya: meliputi
wilayah kota madya atau Kabupaten.jenis perkara yang menjadikekuasaan peradilan
agama yaitu : tentang perkawinan, warisan, wasiat, dan hibah,zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi islam. kata wewenang atau kekuasaan pada umumya
dimaksudkan adalah kekuasaan absolute.
Mahkamah Agung
mempunyai wewenang:
- mengasili pada tingkat Kasasi terhadapkeputusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah agung.
- menguji peraturan per UU dibawah UU terhadap UU dan
- wewenangan lainnya yang diberikan UU .
A. Wewenang Relative Peradilan Agama
Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan
peradilan yang sama jenis dan sama tingkatannya, misalnya antara peradilan
Agama Negeri MAlang dengan Peradilan Negeri Surabaya, antara Peradilan Agama
Blitar dengan Peradilan Agama Sapeken. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu
yang tercantumdalam Pasal 118 Ayat (2) Ayat (3) dan (4), yaitu
·
apabila tergugat lebih dari
satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
·
Apabila tempat tinggal
tergugat tidak diketahui maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat pengguagat.
·
Apabila gugatan mengenai
benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hokum
dimana barang tersebut terletak, dan
·
Apabila ada tempat tinggal
yang dipilih dengan suatu akad, maka gugatan akan dapat diajukan pada
pengadilan tempat tinggalyang dipilih dalam akad tersebut.
Jadi tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hokum
tertentu atau menurut Raihan dikatakan mempunyai yurisdiksi relative tertentu,
dalam hal ini meliputi kotamadya atau satu Kabupaten yurisdiksi relative ini
mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan
mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepesi tergugat.
Menurut M Yahya Harahap, bahwa factor yang menimbulkan
terjadinyapembatasan wewenag relative masing-masing peradilan pada setiap
lingkungan peradilan adalah factor wilayah hokum. Mari kita lihat kompentansi
relative lingkungan peradilan Agama. Menurut ketentuan Pasal 4 UU No.3 tahun
2006 : atas “tempat kedudukan” peradilan agam berkedudukan di Ibukota Kabupaten
atau Kota dan Daerah hukumnya meliputi kabupaten atau Kota.
B. Wewenang absolut Peradilan Agama
Kekuasaan absolute artinya Kekuasaan Pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkat pengadilan lainnya,misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama islam sedang bagi yang selain islam
menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa
dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara
diPengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah agung.
1.
Kewenagan mengadili perkara bidang
perkawinan
Diatas telah di jelaskan bahwa kewenangan absolute
peradilan Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah. Mengenai bidang perkawinan, Pasal 49 Ayat (2) menyatakan
bahwa yang di amaksud adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang
mengenai pekawinan yang berlaku.
2.
Kewenangan mengadili bidang
kewarisan, wasiat dan hibah
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah hokum
yang lebih membingungkan dari pada masalah waris, masalah yang mudah sekali
menimbulkan kekacauan dan pedebatan seru dikalangan para ahli hokum aktifis
politik.banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang diterbitkan sejak
permulaan abad ini. Namun masih belum nampak adanya kesimpulan yang menyurut
dan belum pernah pula dibaca membuat UU yang mengatur masalah warisan untuk
seluruh Indonesia. Hanya dalam Undang-Undang Agraris Tahun 1960, ditemukan
beberapa ketantuan yang menyangkut waris, terutama dalam bentuk bahan
penelitian dan administrasi.
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa
warisan ditinjau dari sudut hokum waris Islam, dapat dilakukan melalui
pendekatan Pasal 49 Ayat (3) jo menjelaskan umum angka dua alenia keenam.
Jadi,uraian singkat dari ketantuan pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok
hokum waris Islam yang akan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam
di pengadilan Agama terdiri atas:
- Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penantuan hak dan kewajiban ahli waris.
- Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
- Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalan al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad (pendapat Prof.Hazairin dan KHI) dan
- Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
3.
Kewenangan mengadili perkara
bidang wakaf dan shadaqoh
Pasal 1 Ayat (1) PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan
Tanah Milik menantukan pengertian tentang wakaf. Kemungkian konflik bersedekah
yang menjadi perkara di lembaga pengadilan Agama antara lain:
1.
Badan Amil Zakat, infaq dan
shadaqah (BAZIS) yang diberi amanah oleh umat islam untuk menarima mengelola
dan menyalurkan benda-benda tersebut tetapi telah nyata menyalahfunakan untuk
kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi dan cara-cara lain yang
bertantangan dengan hokum.
2.
Penyaluran zakat, infaq dan
shadaqah yang tidak merata dan tidak adil karena ada nepotisme,atau karena
adanya kolusi dengan pihak tertentu
3.
Panitia, atau kepentingan pengurus
yayasan yang menyalhgunakan dana sedekah untuk kepentingan lain yang menyimpang
dari tujuan semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar