Sabtu, 25 Mei 2013

RESUME



WEWENANG PERADILAN AGAMA

Kata “Kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, berasal dari Bahasa Belanda “Competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Wewenang peradilan agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 63 UU nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama, wewenang tersebut terdiri atas wewnang relative dan wewenang absolute, wewenang relative peradilan agama merujuk pada pasal 118 HIR, atau pasal 142 RB dan pasal 66 dan pasal 73 UU nomor 7 Tahun 1989. sedang wewenwng absolut berdasarkan pasal49 UU nomor 7 tahun 1989. yaitu wewenang peradilan perkara-perkara perdata (a) perkawinan, (b) warisan, wasiat, atau Hibah yang dilakukun berdasarkan hokum islam. (c) wakaf, Zakat, Infaq, shadaqah dan ekonomi islam.
Pada bab ini akan dibahas mengenai kekuasaan lingkungan peradilan dalam kedudukan sebagai salah satu kekuasaan kehakiman. Ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang diberikan UU kepada lingkungan peradilan agama dacantumkan dalam bab III UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi Pasal 49 sampai dengan 53. menurut Yahaya harahap, ada 5 tugas dan wewenag yang terdapat dilingkungan peradilan agama, yaitu (1) fungsi wewenang mengadili, (2) memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hokum islam kepada instalasi pemerintahan, (3) wewenangan lain oleh atau berdasarkan atas UU. (4) kewenangan atas peradilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relative, serta (5) bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kekuasaan atau wewenang peradilan kaitannya adalah dengan hokum acara, menyangkut 2 hal yaitu, kekuasaan relative dan kekuasaan absolute.  Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Misalnya : antara pengadilan negeri malang dengan peradilan negeri pasuruan, pengadilan agama sidoarjo dan pengadilan agama jombang,
Pasal 4 Ayat (1) UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama berbunyi: peradilan Agama berkedudukan di kota Madya atau Ibukota Kabupaten dan Daerah hukumnya: meliputi wilayah kota madya atau Kabupaten.jenis perkara yang menjadikekuasaan peradilan agama yaitu : tentang perkawinan, warisan, wasiat, dan hibah,zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi islam. kata wewenang atau kekuasaan pada umumya dimaksudkan adalah kekuasaan absolute.
Mahkamah Agung mempunyai wewenang:
  1. mengasili pada tingkat Kasasi terhadapkeputusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah agung.
  2. menguji peraturan per UU dibawah UU terhadap UU dan
  3. wewenangan lainnya yang diberikan UU .

A. Wewenang Relative Peradilan Agama
Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan peradilan yang sama jenis dan sama tingkatannya, misalnya antara peradilan Agama Negeri MAlang dengan Peradilan Negeri Surabaya, antara Peradilan Agama Blitar dengan Peradilan Agama Sapeken. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu yang tercantumdalam Pasal 118 Ayat (2) Ayat (3) dan (4), yaitu
·         apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
·         Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka gugatan diajukan kepada pengadilan  ditempat pengguagat.
·         Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hokum dimana barang tersebut terletak, dan
·         Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akad, maka gugatan akan dapat diajukan pada pengadilan tempat tinggalyang dipilih dalam akad tersebut.
Jadi tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hokum tertentu atau menurut Raihan dikatakan mempunyai yurisdiksi relative tertentu, dalam hal ini meliputi kotamadya atau satu Kabupaten yurisdiksi relative ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepesi tergugat.
Menurut M Yahya Harahap, bahwa factor yang menimbulkan terjadinyapembatasan wewenag relative masing-masing peradilan pada setiap lingkungan peradilan adalah factor wilayah hokum. Mari kita lihat kompentansi relative lingkungan peradilan Agama. Menurut ketentuan Pasal 4 UU No.3 tahun 2006 : atas “tempat kedudukan” peradilan agam berkedudukan di Ibukota Kabupaten atau Kota dan Daerah hukumnya meliputi kabupaten atau Kota.

B.  Wewenang absolut Peradilan Agama
Kekuasaan absolute artinya Kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan lainnya,misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam sedang bagi yang selain islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara diPengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah agung.
1.   Kewenagan mengadili perkara bidang perkawinan
Diatas telah di jelaskan bahwa kewenangan absolute peradilan Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Mengenai bidang perkawinan, Pasal 49 Ayat (2) menyatakan bahwa yang di amaksud adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai pekawinan yang berlaku.
2.   Kewenangan mengadili bidang kewarisan, wasiat dan hibah
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah hokum yang lebih membingungkan dari pada masalah waris, masalah yang mudah sekali menimbulkan kekacauan dan pedebatan seru dikalangan para ahli hokum aktifis politik.banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang diterbitkan sejak permulaan abad ini. Namun masih belum nampak adanya kesimpulan yang menyurut dan belum pernah pula dibaca membuat UU yang mengatur masalah warisan untuk seluruh Indonesia. Hanya dalam Undang-Undang Agraris Tahun 1960, ditemukan beberapa ketantuan yang menyangkut waris, terutama dalam bentuk bahan penelitian dan administrasi.
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa warisan ditinjau dari sudut hokum waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan Pasal 49 Ayat (3) jo menjelaskan umum angka dua alenia keenam. Jadi,uraian singkat dari ketantuan pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hokum waris Islam yang akan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam di pengadilan Agama terdiri atas:
  1. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penantuan hak dan kewajiban ahli waris.
  2. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
  3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalan al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad (pendapat Prof.Hazairin dan KHI) dan
  4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

3.   Kewenangan mengadili perkara bidang wakaf dan shadaqoh
Pasal 1 Ayat (1) PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah Milik menantukan pengertian tentang wakaf. Kemungkian konflik bersedekah yang menjadi perkara di lembaga pengadilan Agama antara lain:
1.      Badan Amil Zakat, infaq dan shadaqah (BAZIS) yang diberi amanah oleh umat islam untuk menarima mengelola dan menyalurkan benda-benda tersebut tetapi telah nyata menyalahfunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi dan cara-cara lain yang bertantangan dengan hokum.
2.      Penyaluran zakat, infaq dan shadaqah yang tidak merata dan tidak adil karena ada nepotisme,atau karena adanya kolusi dengan pihak tertentu
3.      Panitia, atau kepentingan pengurus yayasan yang menyalhgunakan dana sedekah untuk kepentingan lain yang menyimpang dari tujuan semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar